TRIBUNNEWS(dot)COM – Krisis sampah plastik di Indonesia hingga kini tak kunjung mereda. Pemerintah sendiri telah menargetkan pengurangan sampah hingga 30 persen dan pengurangan sampah plastik ke laut hingga 70 persen pada tahun 2025.
Melansir Kompas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat total sampah nasional mencapai 68,5 juta ton, naik sekitar 0,7 juta ton dari total timbulan sampah nasional tahun 2020.
Temuan lain dari laporan Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) dan lembaga riset Nielsen mencatat, produk AMDK dari korporasi atau produsen menyumbang 328.117 ton dari total sampah plastik sepanjang 2021.
Temuan tersebut mencatat beberapa tipe bahan plastik yang kerap ditemukan dalam timbulan sampah plastik AMDK yang diproduksi oleh korporasi, yakni PP (Polypropylene), PET (Polyethylene Terephthalate), dan PC (Polycarbonate).
Mengutip laporan yang sama, sampah plastik bertipe PP (Polypropylene) yang biasa ditemukan pada air mineral kemasan gelas (cup) menyumbang produksi sampah sebanyak 66.170 ton dari total timbulan sampah plastik nasional.
Kedua adalah tipe plastik PET (Polyethylene Terephthalate), yang terkandung dalam botol air minum dalam kemasan. Laporan mencatat timbulan sampah mencapai 163.114 ton dari semua merek AMDK.
Sebagai informasi, riset terbaru Sustainable Waste Indonesia (SWI) mengungkapkan, kemasan plastik PP dan PET termasuk dalam jenis yang paling banyak didaur ulang. Air minum berkemasan plastik PET menyumbang 23 persen total daur ulang, sementara kemasan gelas PP sekitar 15 persen.
Dengan begitu, hal ini menunjukkan secara umum kontribusi dua jenis plastik ini terhadap sirkulasi ekonomi di Indonesia.
Riset tersebut juga memaparkan tingkat daur ulang atau recycling rate pada periode Maret-Agustus 2021 di wilayah Jabodetabek, yakni botol PET sekitar 74 persen, galon PET 93 % persen, dan gelas PP kurang lebih 81 persen.
Yang terakhir adalah sampah AMDK berbahan plastik PC (Polycarbonate) atau polikarbonat, yang menyumbang sebanyak 99.013 ton dari timbulan sampah plastik AMDK nasional. Tipe limbah plastik PC sulit didaur ulang dan sering ditemukan pada galon air minum guna ulang.
Salah satu produsen galon guna ulang multinasional menyumbang sebanyak 38.530 ton, atau lebih dari 10 persen dari total timbulan sampah plastik AMDk nasional 2021.
Sebagaimana diketahui, polikarbonat merupakan tipe plastik yang dikategorikan sebagai tipe plastik nomor 7. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki standar baku daur ulang polikarbonat kembali menjadi bahan kemasan minuman dan makanan. Baik Good Manufacturing Practices, maupun Standar Nasional Indonesia (SNI). Banyak ahli dan kecenderungan industri internasional sangat tidak menyarankan untuk tidak digunakan karena memiliki kandungan bisphenol A (BPA).
Beberapa riset telah membuktikan bahwa BPA dalam kandungan polikarbonat menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang berbahaya, termasuk gangguan otak dan saraf, kemandulan, diabetes tipe II, hingga berpotensi memicu kanker. Terlebuh, tingkat daur ulang yang rendah membuat penggunaan polikarbonat tidak disarankan.
WALHI: Korporasi punya peran besar
Untuk mengatasi timbulan sampah plastik, termasuk di dalamnya sampah plastik AMDK, pemerintah telah meresmikan Peraturan Menteri (Permen) LHK RI No. 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Terdapat tiga bidang usaha yang disoroti yaitu produsen di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman, dan juga ritel.
Pengkampanye Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Nasional, Ghofar, menyebutkan bahwa secara umum isi aturan ini sudah lumayan konkret.
Selain itu, tiga bidang usaha tersebut menurut Ghofar juga memiliki peran yang besar terhadap situasi sampah plastik dan berdiri di antara produsen plastik, termasuk produsen AMDK, dan masyarakat yang mengonsumsi barang kemasan yang menghasilkan sampah itu.
“Jadi perusahaan dalam tiga jenis ini diminta untuk menyetor rencana aksi program selama 2019 sampai 2030. Perencanaan selama 10 tahun ke depan bagaimana. Kemasan yang daur ulang diapakan dan sebagainya. Jadi, Idealnya patuh submit peta jalan dan menjadi kewajiban,” jelas Ghofar pada Tribunnews, Sabtu (14/5/2022).
Dalam Permen LHK RI No. 75 Tahun 2019 ini produsen diwajibkan untuk membatasi timbunan sampah dan mendaur ulang sampah melalui penarikan kembali serta memanfaatkan kembali sampah.
Hal ini dapat dimulai dengan mendesain kemasan yang dapat didaur ulang, diguna ulang, atau dikomposkan, sampai dengan membangun sistem penarikan kembali sampah kemasan untuk didaur ulang sebagai bagian dari penerapan ekonomi sirkular, termasuk untuk produsen AMDK yang tak bisa lepas dari penggunaan kemasan plastik.
Masyarakat setuju korporasi berperan penting
Menurut laporan yang disusun Greenpeace Indonesia, korporasi dan pemerintah memainkan peran penting dalam mendorong pengurangan konsumsi plastik.
Meskipun benar bahwa masyarakat harus secara aktif mengurangi penggunaan plastik rumah tangga, kontribusi korporasi diperkirakan akan mempercepat hasil perbaikan lingkungan yang diinginkan.
Menurut survei terhadap 623 responden, lebih dari separuh responden memandang produsen atau distributor sebagai pihak yang paling bertanggung jawab untuk mengurangi kemasan plastik.
Banyak masyarakat percaya korporasi bertanggung jawab dalam hal ini, karena masyarakat hanya dapat memilih berdasarkan ketersediaan di pasar. Mereka berharap produsen lebih proaktif dalam menangani isu kemasan plastik.
Survei Greenpeace pun menyebutkan, hampir 90 persen dari total responden setuju bahwa korporasi harus bertanggung jawab dalam mengurangi kemasan plastik.
Selain itu, mereka menilai pengelolaan sampah pasca digunakan konsumen, misalnya melalui pendauran ulang atau penggunaan ulang kemasan, sangat penting dilakukan korporasi sebagai upaya perbaikan atas dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Sebagai contoh, penerapan ekonomi sirkular dapat jadi bentuk tanggung jawab korporasi dalam mengurangi sampah plastik di Indonesia.
Melansir Kompas TV, produsen AMDK memiliki program ekonomi sirkuler yang melibatkan masyarakat, bahkan memberikan bimbingan operasional, modal kerja, hingga edukasi mengenai daur ulang kemasan plastik terhadap masyarakat.
Ekonomi sirkular adalah strategi pengelolaan sampah ramah lingkungan yang bertujuan memaksimalkan penggunaan material secara sirkular dengan memulihkan dan menggunakan kembali produk dan bahan sebanyak mungkin secara sistemik dan berulang-ulang, sehingga meminimalisasi produksi sampah.
Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati memaparkan KLHK mendukung tiga pendekatan pengelolaan sampah yang dipakai yakni pendekatan zero waste melalui perubahan perilaku, pendekatan teknologi, dan pendekatan ekonomi sirkular.
“Ekonomi sirkular adalah solusi yang baik dalam soal penanganan limbah plastik. Selain mengurangi pencemaran lingkungan, mampu menghemat permintaan sumber daya alam, bisa mengurangi impor bahan baku sampah plastik untuk industri daur ulang yang masih kekurangan, dan mendatangkan nafkah bagi masyarakat pengepul. Sebuah win-win solution,” tegas Vivien.
Program ekonomi sirkular hanyalah satu dari sekian benutk tanggung jawab korporasi yang sejalan dengan peta jalan pemerintah untuk mendorong pengurangan sampah nasional.
Hal tersebut sejalan dengan pasal 6 Peraturan Menteri (Permen) LHK RI No. 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, di mana korporasi dapat berupaya mengurangi sampah dengan pendauran ulang sampah, yakni dengan menggunakan bahan baku produksi yang dapat didaur ulang, atau menggunakan bahan baku produksi hasil daur ulang.
Di samping itu, korporasi juga dapat berperan dalam menyosialisasikan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan, misalnya dengan mengedukasi masyarakat untuk berperan dalam pengurangan sampah melalui pemilihan produk dan/atau kemasan produk yang dapat didaur ulang.